A. Pembentukan Kabinet Djuanda
Setelah kemerdekaan yang didapatkan pada 1945, keadaan
Indonesia belum serta merta menjadi baik dan stabil. Masih banyak kekurangan
yang perlu diperbaiki dan sangat mendesak untuk segera dicarikan solusi.
Kondisi politik tanah air masih sangat goyah dan belum menunjukkan tanda-tanda
ke arah yang stabil. Sebelum dilakukan Pemilu 1955, yang merupakan
Pemilihan Umum pertama Indonesia, terjadi beberapa kali pergantian
Kabinet. Ada beberapa kabinet dan tentu saja masing-masing kabinet tersebut
memiliki beberapa program yang menjadi prioritas utama.
Kabinet Djuanda sendiri dibentuk setelah Kabinet Ali
Sastroamijoyo II
turun. Kabinet yang berada di bawah pimpinan Perdana Menteri Djuanda ini
dikenal dengan nama Kabinet Karya. Pembentukan Kabinet Djuanda ini diniatkan
sebagai salah satu cara untuk mengatasi kondisi kacau balau yang sedang
dihadapi oleh negara Indonesia. Personal yang diambil untuk mengisi pos di
dalam Kabinet Djuanda ini pun juga disesuaikan dengan keahlian dari
masing-masing personal pada bidangnya.
B. Susunan Kabinet Djuanda
1.
Perdana Menteri : Djuanda Kartawidjaja
2.
Wakil Perdana Menteri :
a.
Hardi
b.
Idham Chalid
c.
J. Leimena (sejak 29 April 1957)
3.
Menteri Luar Negeri :
Subandrio
4.
Menteri Dalam Negeri :
Sanusi Hardjadinata
5.
Menteri Pertahanan :
Djuanda
6.
Menteri Kehakiman :
GA Maengkom
7.
Menteri Penerangan : Soedibjo
8.
Menteri Keuangan :
Sutikno Slamet
9.
Menteri Pertanian : Sadjarwo
10.
Menteri Perdagangan :
a.
Prof. Drs. Soenardjo (sampai dengan 25 Juni 1958)
b.
Rachmat Muljomiseno (sejak 25 Juni 1958)
11.
Menteri Perindustrian :
F.J. Inkiriwang
12.
Menteri Perhubungan : Sukardan
13.
Menteri Pelayanan :
Mohammad Nazir
14.
Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga : Pangeran Mohammad Nur
15.
Menteri Perburuhan : Samjono
16.
Menteri Sosial :
a.
J. Leimena (sampai dengan 24 Mei 1957)
b.
Muljadi Djojomartono (sejak 25 Mei 1957)
17. Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan :
Prijono
18. Menteri Agama :
Muhammad Ilyas
19. Menteri
Kesehatan :
Azis Saleh
20. Menteri Agraria :
R. Sunarjo
21. Menteri Urusan
Pengerahan
Tenaga Rakyat untuk Pembangunan : A.M.
Hanafi (sampai dengan
25 Juni 1958)
22. Menteri Negara
Urusan Veteran :
Chaerul Saleh
23. Menteri Negara
Urusan Hubungan Antar Daerah (Urusan
Transmigrasi) : F.L. Tobing (sampai dengan 25 Juni 1958)
24. Menteri Negara
Urusan Hubungan Antar
Daerah :
Prof. Mr. H. Moh. Yamin (sejak 25 Juni
1958)
25. Menteri Negara : A.M.
Hanafi (sejak 25 Juni
1958)
C. Program Kerja Kabinet Djuanda
Program kerja Kabinet Djuanda bisa dikatakan memiliki
program kerja yang bagus untuk kemajuan dan untuk membangun bangsa. Setelah
dilantik pada 9 April 1957, Kabinet Djuanda yang juga disebut Zaken Kabinet
dengan dipimpin oleh
Perdana Menteri Ir. Djuanda. Kabinet ini memiliki tugas yang sangat berat.
Pergolakan di berbagai daerah masih sering terjadi. Perjuangan untuk mengembalikan Irian
Barat ke Indonesia,
dan yang tak kalah penting lagi adalah menghadapi keadaan ekonomi yang saat itu
sangat tidak stabil disertai keuangan yang buruk.
Untuk mengatasi berbagai masalah nasional tersebut, Kebinet
Kerja Djuanda menyusun program kerja yang tertuang dalam 5 pasal Panca Karya.
Dari Panca Karya inilah kemudian Kabinet Djuanda juga sering disebut sebagai
Kabinet Karya. Program kerja Kabinet Djuanda tersebut juga turut serta disusun
oleh Presiden Soekarno. Inilah Program Kerja Kabinet Djuanda yang tertuang
dalam Panca Karya :
1.
Membentuk Dewan Nasional
2.
Normalisasi keadaan Republik
3.
Melaksanakan pembatalan KMB
4.
Memperjuangkan Irian Barat
5.
Mempergiat pembangunan
D. Pelaksanaan Program Kerja Kabinet
Djuanda
Setelah program kerja Kabinet Djuanda disusun, langkah
pertama yang dilakukan adalah dengan membentuk Dewan Nasional yang juga
menandai awal mulainya Demokrasi Terpimpin di Indonesia. Setelah program
pertama dikerjakan, kemudian langsung dilanjutkan dengan program kerja Kabinet
Djuanda selanjutnya yaitu normalisasi pada keadaan Republik Indonesia yang saat
itu masih sangat tidak stabil. Normalisasi ini dilakukan dengan menyelesaikan
antar pusat maupun antar daerah.
Keadaan semakin bertambah kacau setelah adanya peristiwa
percobaan pembunuhan terhadap Presiden Soekarno. Selain peristiwa tersebut,
juga marak berbagai gerakan-gerakan yang bersifat anarkis. Ditambah lagi berbagai demonstrasi
yang terjadi hampir di seluruh penjuru Indonesia dan terjadi pengambil alihan
milik Belanda. Peristiwa-peristiwa anarkis tersebut jelas sangat mengganggu
perekonomian saat itu. Belum lagi masalah Irian Barat yang kemudian dibawa ke
PBB sebagai konsekuensi dari pelaksanaan program kabinet Djuanda.
Untuk menjamin terlaksananya program pembebasan Irian Barat,
kemudian pada 10 Februari 1958 sebuah front yang kala itu dinamakn sebagai
Front Pembebasan Irian Barat atau disingkat dengan FNPIB. Namun sangat
disayangkan, sampai berakhirnya era Kabinet Karya, perjuangan pembebasan Irian
Barat tidak juga terlaksana.
Kekacauan semakin bertambah parah ketika saat itu beberapa tokoh perwira
Angkatan Darat dan beberapa cendikiawan membentuk Gerakan Menyelamatkan Negara
Republik Indonesia dengan memberikan ultimatum kepada Kabinet Karya. Gerakan
ini kemudian yang menimbulkan berdirinya PRRI yang berada di Bukit Tinggi yang
berada di bawah pimpinan Syafrudin Prawiranegara yang bergabung dengan Permesta
untuk melawan Pemerintah.
Gerakan PRRI Permesta ini kemudian mendapatkan dukungan dari
SEATO yang merupakan tangan kanan Amerika Serikat. Dukungan Amerika Serikat
kepada PRRI
Permesta ini kemudian membuat gambaran rakyat Indonesia yang memberikan opini
negatif terhadap negara Adikuasa tersebut. Namun pada akhirnya pemberontakan
yang dilakukan oleh PRRI Permesta ini berhasil ditumpas oleh TNI dan sekaligus
menjadi prestasi yang sangat luar biasa dari Kebinet Djuanda.
E. Keberhasilan Dan Kendala Kabinet
Djuanda (Kabinet Karya)
Keberhasilan yang paling mencolok dari Kabinet Djuanda adalah
berhasil menumpas pemberontakan yang dilakukan oleh PRRI Permesta.
Pemberontakan itu berhasil diredam oleh TNI. Selain berhasil menumpas
pemberontakan, Kabinet Djuanda juga dinilai berhasil dengan mengeluarkan
Deklarasi Djuanda yang mengatur batas wilayah kepulauan di Indonesia. Deklarasi
tersebut kemudian dikuatkan dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang Undang No. 4 Tahun 1960 tentang perairan Indonesia.
Keberhasilan yang sudah dicapai oleh Kabinet Djuanda
bukannya tanpa kendala. Ada beragam kendala yang menyebabken program kerja
Kabinet Djuanda tidak berjalan dengan maksimal. Kendala yang sering menjadi
masalah adalah pada pendanaan. Hal ini dikarenakan pos-pos pengeluaran yang
sangat besar terutama pada biaya untuk menumpas pemberontakan PPRI Permesta.
Selain biaya sangat besar untuk pemberontakan, pendapatan juga berkurang karena
adanya barter dan penyelundupan. Defisit negara yang besar sehingga menimbulkan
inflasi juga menjadi kendala dalam pendanaan. Terakhir adalah bahwa disiplin
ekonomi pada masyarakat masih sangat kurang.
Meski program kerja dari Kabinet Djuanda ini belum semuanya
berhasil dijalankan, namun ada banyak jasa kabinet Djuanda untuk bangsa dan
negara. Ada banyak yang sudah diselesaikan seperti UU Keadaan Bahaya
menggantikan SOB, UU wajib militer, Veteran Pejuang Republik Indonesia (VPRI),
UU Perjanjian Perdamaian dan Persetujuan Pampasan Perang dengan Jepang, UU
Penanaman Modal Asing, UU Pembatalan Hak Penambangan, UU Dewan Perancang
Nasional, UU Pembangunan Lima Tahun, UU Perkumpulan Koperasi, UU Bank Tani dan
Nelayan dan masih banyak lagi yang lainnya.
F. Akhir Kekuasaan Kabinet Djuanda
Meski sudah mampu mencapai beberapa keberhasilan, namun pada
perjalanannya Kabinet Djuanda pada akhirnya berakhir. Sebenarnya pada saat itu
konflik di tingkat pimpinan pusat sudah bisa lepas dan terhindar dari krisis
yang mengarah kepada perpecahan bangsa. Namun ternyata selepas dari konflik
kepentingan di tingkat pusat, masalah yang tak kalah berat harus dihadapi oleh
Kabinet Djuanda, yaitu terjadinya pertentangan ideologi dan politik yang
terjadi di dalam konstituante. Dan tidak main-main, pertentangan dan konflik
ini semakin berbahay karena menjalar ke tingkat tataran masyarakat yang
kemudian menambah terjadinya ketegangan-ketegangan.
Saat itu, wakil-wakil rakyat yang bersidang pada 10 November
1956 sampai Januari 1959, mengalami masalah yang sangat besar terkait dengan
hal yang sangat prinsip yaitu ideologi negara. Konflik ini cukup menyita energi
seluruh elemen yang ada di Indonesia, mulai dari konstituante, pers dan juga
masyarakat secara luas. Bahkan pertentangan ini terjadi selama dua setengah
tahun. Kemudian Soekarno
muncul dengan membawa konsepnya yang kemudian disusul dengan gagasan Demokrasi
terpimpin. Namun kemudian masalah belum bisa diselesaikan karena ada
kebingungan dengan cara apa yang akan digunakan untuk melaksanakan Demokrasi
Terpimpin.
Setelah mempelajari secara sungguh-sungguh dan mendalam, Djuanda
kemudian menyimpulkan bahwa Demokrasi Terpimpin harus dilaksanakan dalam rangka
untuk kembali pada UUD 1945. Ide ini kemudian disetujui oleh Presiden dan
kemudian diajukan kepada Dewan Menteri pada tanggal 19 Februari 1959. Untuk
merealisasikan gagasan yang telah disampaikan tersebut, maka Presiden Soekarno
mengeluarkan Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959. Dengan diumumkannya
Dekrit Presiden, maka Indonesia kembali kepada UUD 1945 sedangkan UUDS sudah
tidak berlaku lagi.
Perubahan ini jelas sangat memberikan pengaruh yang
signifikan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Sistem yang selama ini
menggunakan Parlementer, diganti dengan sistem presidensil. Sehingga dengan
otomatis ketika menggunakan sistem presidensil, maka Presiden memiliki peran
sebagai kepala Pemerintahan dan sekaligus juga sebagai kepala negara. Dan
tentunya keberadaan Perdana Menteri sudah tidak diperlukan lagi. Maka
selanjutnya Djuanda dan Kebinetnya mengembalikan mandat kepada Presiden
sehingga Kabinet Djuanda pun berakhir.